Pukul tujuh pagi waktu di kota ini. Kota Kijang. Aku memandang keluar rumah dari balik teralis pintu laksana jeruji penjara. Mentari telah bersinar terang benderang berkilauan menerangi kota di musim kemarau ini. Hujan belum turun hampir sebulan rasanya.
Dari balik kamar kulihat ke arah jendela, sorot tajam sang mentari dari atas pulau seberang, Pulau Mana atau Pulau Dendang atau Dari Pulau Kelong ia datang?
Ku buka pintu, melihat ke halaman rumah yang tak tersapu, rumput kering terbakar mentari. Terselip diantaranya pohon kurma kesayanganku. Alhamdulillah, makin bertambah daunnya, semoga panjang umurnya.
Masih di pagi ini, di musim panas yang kering dengan angin yang bertiup tidak terlalu kencang seperti minggu-minggu sebelumnya. Bunga-bunga bugenvil merah,pink dan putih bermekaran menghiasi halaman rumahku dan mungkin di tiap rumah bahkan hampir di tiap penjuru kota ini.
Aku pernah berkata beberapa minggu lalu di suatu tempat, mudah-mudahan hujan segera datang. Tetapi beberapa orang berkata,.....".....jangan la hujan.....nanti pasar sepi.....". Atau "....jangan la hujan nanti sepi pembeli...". Jadi aku berfikir. Berkesimpulan bahwa tak semua orang mendambakan datangnya hujan.
Ada juga aku berbicara dengan seorang pekebun....begitukah namanya orang yang berkebun barangkali istilahnya. Ia mengungkapkan betapa sulitnya menyirami tanaman di kebunnya di musim ini. Dengan air yang sedikit dan terbatas, "para" tanaman harus saling berbagi air.
Namun, yang jarang, mungkin sangat langka di kota ini aku mendengar saat musim kemarau panas dilakukan sholat istisqa. Jarang, mungkin tidak pernah. Atau aku saja yang tak tahu.Wallahu A'lam.