Kamis, 13 Maret 2014

Mengenang Kembali Amir Hamzah

,
Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Sayup sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik penarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu, bukan giliranku
Mati hari, bukan kawanku

                                               Dari : Nyanyi Sunyi


Di atas adalah puisi hasil karya pujangga baru di jamannya. Yang saat ini patut dikenang kembali, baik mengenang kelahiran maupun kembalinya ke Rahmatullah. Pujangga ini boleh dikata meninggal dalam usia muda (35 tahun). Usia yang masih penuh vitalitas dan telah penuh pengalaman hidup. Di dalam kita mengenang kembali patutlah bila yang diberitakan soal yang baik saja. Seperti dalam kata mutiara yang mengatakan : De Mortius ni nisi benum (Tentang orang yang meninggal, kita patut menceritakan yang baik-baik saja).

Amir Hamzah Penyair Keagamaan

Amir Hamzah adalah pujangga keagamaan, kata Armijn Pane dalam ceramahnya di taman Ismail Marzuki 15 Januari 1970 (Zuber Usman, Djaya, 423-70).

Alasannya, karena Amir Hamzah sebagai pujangga yang pada mula kehidupannya masih gelap, masih jauh dari lembing agama. Namun kemuliaan karena study, mellieu dan pengalaman hidupnya. Maka jiwa dan nuraninya yang semula gelap lambat laun mulai bercahaya nur keagamaan. Serupa dengan Y.E Tatengkeng. Tapi lain dengan Hamka. Dia adalah Pujangga Agama karena pada dasar dari hidupnya Hamka telah mempelajari agama sebagai kepercayaan maupun pandangan hidupnya yang kemudian berbuah di lingkungan kaum taat beragama. Demikian ceramah terakhirnya Armijn Pane sebelum meninggal tanggal 16 Februari 1970.

Amir Hamzah dilahirkan di Langkat, Sumatera Timur tanggal 28 Februari 1911. Beliau hidup dalam lingkungan bangsawan sebagai Putra Bendahara Raja, menantu kemenakan Sultan Langkat. Gelar Pangeran Indera Pura. Oleh karena itulah beliau menaruh perhatian serta gemar mempelajari bahasa dan kesusateraan timur khususnya. Setelah beliau menamatkan sekolah dasar (H.I.S) di Tanjung Pura, mulailah roda pengembaraannya.

Yang pertamakali datang ke Medan lantas ke Batavia (Jakarta) memasuki Mulo (SMP) kemudian pindah ke Surakarta belajar di AMS AI (bagian Sastra Timur). Kemudian kuliah di Fakultas Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta sampai Kandidat penuh.

Amir Hamzah sebagai salah satu pendiri angkatan Pujangga Baru termasuk paling muda dan mempunyai pendirian tersendiri dari kawan sejawatnya. Seperti diketahui Armijn Pane lahir tahun 1908. St. Takdir Alisyahbana tahun 1908 pula, sedang Amir 1911. Menurut konsepsinya Pane, Pujangga Baru harus berorientasi ke Eropa dengan paduan bahasa Melayu. Jadi Barat dan Timur ditemukan dalam suatu wadah yaitu Pujangga Baru. Namun rasanya Konsepsi Pane terbelenggu dengan romannya sendiri "Belenggu". Sedang Sutan Takdir Alisyahbana orientasinya Barat minded jelas terbayang dalam romannya "Layar Terkembang". Lain halnya dengan Amir Hamzah. Sastrawan ini berpendapat bahwa untuk pembaharuan dunia sastra tidak perlu melalui kebudayaan Barat seperti yang dikatakan Sutan Takdir Alisyahbana maupun Pane. Tetapi bahasa Melayu kuno pun sudah cukup memperbaharui bentuk kesusasteraan Indonesia. Bila ada kekurangannya dapat dilengkapi dengan bentuk sastra daerah misal Jawa, Sunda, Bali dan lain sebagainya katanya. Tetapi pendirian tersebut tak dapat dipertahankan karena Amir sendiri berpendidikan Barat.

Sebagai salah seorang pendiri Majalah Budaya Pujangga Baru di tahun 1933, tentu saja beliau turut memikirkan, membangun, menimbulkan dan mengembangkan dunia sastra Indonesia. Di samping itu beliau juga turut aktif memperjuangkan gerak kebudayaan Indonesia dan turut mengisi khasanah sastra, terbukti beliau aktif menterjemahkan karya dunia. Tak terlalu pretensiuslah kalau orang di jaman itu, sekarang dan besok menyebut Amir Hamzah dengan gelar : Pangeran Indera Pura Pujangga Besar Keagamaan di jaman pujangga baru.

Namun suatu peristiwa yang menyedihkan, yang membuat kita berbelasungkawa selamanya terjadi di Sumatera Timur dalam suatu pergolakan Revolusi sosial dan beliau korban salah faham, yang kejam tak kenal kawan dan lawan. 

Maka kembalilah Amir Hamzah kepada Tuhannya pada tanggal 19 Maret 1946. Dari Amir Hamzah kita mendapat warisan beberapa bukunya antara lain : Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Bhagawat Gita, Setanggi Timur dan beberapa sajaknya yang belum sempat dikumpulkan.

Amir Hamzah Bergelimang Cipta

Menurut Sutan Takdir Alisyahbana di dalam diri Amir Hamzah tersimpan lumpur-lumpur intuitif yang terdiri atas campuran jiwa baru dengan sikap yang kuno. Pada Amir, semangat pembaharuan puisinya bereaksi dengan bahasa Melayu Kuno dalam bentuk alliterasi, term-term, irama dan bunyi sehingga boleh dikatakan puisi Amir sukar dipahami karena penuh dengan kata-kata Kawi maupun daerahnya.

Karena pengetahuannya mengenai bahasa Kawi dan Jawa kuno cukup matang serta hormatnya terhadap sastra timur, mendorong beliau untuk menterjemahkan beberapa puisi dari dunia Timur. Yang antara lain beliau menterjemahkan puisinya Omar Khayyam Rav Das, Tuhram, Mira Bai, Kabir, Thu Fu, Li Tai Fo, Kemal Pasha dan Sa'adi Ahmad. Ada 43 sajak terjemahan yang kemudian dikumpulkan dalam Setanggi Timur terbit 1939.

Di samping itu dia menterjemahkan Bhagawat Gita yang berupa hymne bagian dari Mahabarata, yang menceritakan nasehat Kreshna kepada Arjuna di saat rag-ragu melawan gurunya, pendita Durna. Atas nasehat Kreshna, Arjuna kembali bersemangat, gumregah nalare, kembali memounyai kepercayaan diri sendiri, untuk melawan saudaranya Kaurawa. Bhagawat Gita yang penuh renungan filsafat yang dianggap suci oleh kaum Hindu membentangkan antara lain : bahwa suatu perjuangan yang dilandasi cita-cita yang luhur serta tidak menghendaki balas jasa ataupun anugerah dari kaumnya maupun Tuhan. Dialah yang akan terlepas dari samsara (sengsara). Karya Amir Hamzah ini dimuat berkala dalam Majalah Pujangga Baru tahun 1939.

Sewaktu Amir Hamzah masih belajar di Jawa, boleh dikata masih remaja, beliau rindu kampung halamannya, kawan sepermainannya, saudara-saudaranya dan orang tuanya. Dari rasa kerinfuan itu mendorongnya untuk meledakkan lakon puisi dari kepenuhan intuisinya. Lahirlah berlembar-lembar sajak. Dan sajak-sajaknya banyak dimuat di dalam Majalah Panji Pustaka, Timbul, Pujangga Baru. Yang dikumpulkannya serta baru diterbitkan tahun 1941 yaitu "Buah Sunyi".

Selama study di Jawa, Jakarta, Surakarta-Jakarta segala keperluan hidup dan ongkos study-nya dibiayai pamannya, Sultan Langkat. tak heranlah kalau pada suatu ketika Amir Hamzah dipanggil pulang untuk mengabulkan permintaan pamannya mengawini puterinya. Hal mana terjadi untuk membalas budi. Namun karena itulah jiwa Amir Hamzah tertekan, menderita depresive (tak sampai akut tentunya), jiwanya terombang-ambing dalam pengolahan kata hati. Apakah sebabnya?

Sebenarnya ketika sastrwan itu belajar di Jawa, hatinya telah membiru, merembong dalam pagutan cinta gadis Jawa yang terkenal keayuan dan kelembutannya. Ditulisnya berlembar-lembar sajak untuk membangunkan gairah asmara yang meledak di sanubarinya.

Katakanlah cinta pertama telah mencengkeram jemarinya di hati remaja Amir Hamzah. Namun seperti juga remaja yang lain bahwa mereka tak tahu cinta pertama-akan berakhir juga. Sehingga nasib Amir Hamzah sama dengan Victor Hugo dengan Adele Faucher Yong, kandas di atas sampan biru.

Atas kehendak keluarga maupun adat, Amir Hamzah harus mengawini putri pamannya, Sultan Langkat. Setelah selesai perangkatan perkawinannya, beliau kembali ke kampungya. Dan sekembalinya dari Langkat, Amir Hamzah menutup diri berbulan-bulan lamanya. Kecewa cinta pertamanya sangan mendepres kalbu hidupnya. Namun beliau tidak melpakan Tuhan, beliau selalu berdo'a dan memunajat. Dalam mengasingkan dirinya, Amir menuangkan gerak rohaninya di atas pena. Mencoba menembus pelangi Tuhan yang trasendental dan membangun dunianya yang sendiri. Lahirlah "Nyani Sunyi", kumpulan puisi yang mengangkat derajatnya sebagai raja syair keagamaan di jamannya. Sehingga Prof. Sutan Takdir Alisyahbana di dalam Puisi Baru hal. 141 mengatakan : Dalam Nyanyi Sunyi, cinta dunia yang tidak sampai dilukiskan mendapat keredaan di dalam Nur Ilahi.

Amir Hamzah Bergelimang Rasa

Selama menutup dirinya berbulan-bulan, yang dipikirkan hanyalah maut. Yang ditunggunya cuma kematian yang tak kunjung tiba. Kesedihannya jelas terbayang dalam sajaknya :

Datanglah engkau wahai maut,
lepaskan aku dari nestapa,
Engkaulah lagi tempatku berpaut,
Di waktu ini gelap gulita

                                            (Buah Rindu)

Beliau sangat rindu dengan cinta pertamanya. Gadis Jawa yang cantik, yang manis, yen ngguyu, dekik pipine. Dan termakna dalam sajak ini :

Sampaikan rinduku kepada adinda,
Bisikan rayuanku pada juita,
Liputi lututnya muda kencana,
Serupa beta memeluk dia.

Tapi beliau merasakan kalau cintanya terdampar di pantai jauh :

Ibu, konon jauh tanah selindung,
Tempat gadis duduk berjuntai,
Bunda, hajat hati memeluk gunung,
Apatah daya tangan tak sampai.

                                            (Buah Rindu)

Yah, kandas serupa Hamlet dengan Ophelia, serupa cintanya Hitler yang kabur kangenan dengan Stefanie. Atau cinta remajanya Goethe yang terbelenggu Anna Kothchen Schonkopf dan cuma melahirkan beberapa sajaknya "Annete".

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Seolah-olah sajak di atas menggambarkan bahwa Amir telah membangun cinta di atas piramida yang megah, namun ada angin topan dan badai yang menyapu segalanya. Habis kikis beterbangan. Dan dia merasa akan kembali pada Tuhannya. Tuhan yang digambarkan sebagai :

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Namun beliau tidak tahu di mana adanya Tuhan. Cuma sebuah kepercayaan saja. Hanya kata merangkai hati, invisible. Tak ada bayang sekalipun. Rupa tiada, suara sayup. Cuma itu tak lebih. Karena kebingungannnya, beliau curiga terhadap Tuhan. Mungkin yang dimaknakan Tuhan-lah yang telah merobah nasibku, merubah jalan percintaanku. Karena dia pencemburu, dia ganas bikin aku menderita kata hatinya :

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Dirasakan atas diri Amir bahwa dirinya cuma jadi bulan-bulanan takdir mangsaku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas. Beliau merasa kecil sebagai tikus yang jadi bulan-bulanan Tuhan yang digambarkan sebagai kucing. Ditangkap-dilepas-ditangkap-dicakar-dilepas dan seterusnya. Benar-benar mencabik relung hatinya.

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik penarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Beliau pusing jadi permaianan alam, nanar aku, gila sasar. Amir jengkel dan mengkal namun sayang dirinya harus kembali pada-Nya juga. Gregetan, gemas sekali dia. Tuhan yang digambarkan sebagai dara di balik tirai. Dara yang selalu kasih senyuman kalau perjaka lewat dan diiringi malu-malu kucing, benar-benar bikin hati bersiutan. Engkau pelikpenarik ingin. Dan kegemesannya terhadap Tuhan sama dengan dara di balik tirai.

Ternyata Amir Hamzah mempunyai Self Bewuste. Beliau telah sadar siapakah sebenarnya Tuhan, eksistensinya, sifatnya dan hakekatnya. Terbukti dia masih mengadaikan kepekaan jiwanya dalam menghadap Tuhannya.

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu, bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku

Amir Hamzah berhasrat untuk berpadu dengan Tuhan yang selalu sabar menunggu ummat-Nya yang sadar kehadirat-Nya. Dan Amir pasrah kepada roda waktu dan kematian hari. Beliau telah menyerah pada apa pun yang dihadapinya. Entah itu penderitaan hebat maupun kematian yang ganas. Beliau menemukan ketentraman hatinya. Seperti bait ini :

Diam, hatiku, diam.
Cobakan ria, hatiku ria,
Sedih Tuan, cobalah pendam,
Umpama di sekam api menyala

                                          (Senyum, hatiku senyum)

Akhirnya beliau sadar bahwa hidup tidak hanya untuk merenung kedukaan. Tetapi untuk menempa diri guna menerjang hari esok yang lebih cerah. Seperti sajak di bawah ini yang menunjukkan kesanggupan untuk menempuh tujuan tertentu.

Dalam rupa maha sempurna,
Rindu sendu mengharu kalbu,
Ingin datang merasa sentosa,
Mencecap hidup terentu tuju....

                                          (Berdiri aku)

Demikianlah Amir yang mengungkapkan kata hatinya dalam menembus awan Ilahi yang gaib dan akhirnya mendapat ketenangan yang remang-remang. Semoga diterimalah beliau di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan tak lagi yang dapat aku tuliskan, kecuali....Amien.

Yogya, Februari 1976

Diketik ulang oleh Pat 
Dari majalah warisan ayahnda tercinta, H. Asj'ariansyah Noer, BA
Panji Masyarakat 
No. 223
15 Juni 1977
Halaman 40-42
Kolom : Seni Budaya
Judul   :  Mengenang Kembali Amir Hamzah
Oleh   :  Hugo Pangastuti

0 komentar to “Mengenang Kembali Amir Hamzah”

Posting Komentar

Hey © 2008 Template by:
SkinCorner