Dalam buku "Revolusi Di Nusa Damai" karangan K'tut Tantri, yaitu seorang wanita Amerika keturunan Inggris yang turut berjuang bersama gerilyawan-gerilyawan Indonesia di Surabaya dalam masa revouksi dikisahkan tentang pengakuan negara-negara Arab kepada Pemerintah Indonesia yang baru berdiri, di mana seorang yang bernama Abdul Monem dengan cara yang penuh resiko memasuki Indonesia yang sedang diblokade Belanda, untuk menyampaikan surat kuasa Raja Farouk dari Mesir dan pengakuan Liga Arab.
K'tut Tantri waktu itu sedang berada di SIngapura, dia bermaksud akan meninggalkan Indonesia setelah bertahun-tahun ikut berjuang. Ketika dia sedang mendengarkan radio BBC London di sebuah rumah orang Indonesia yang disebutkannya sebagai "Kolonel X", dia didatangi oleh seorang tamu orang asing, kulitnya hitam dan hidungnya bungkuk. Orang itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai utusan Raja Farouk, bekas Konsul Jendral Mesir di India, dia menanyakan bagaimana caranya untuk sampai ke Yogya menyampaikan surat kepercayaan Raja Mesir itu.
K'tut Tantri menyatakan kesulitan memenuhi maksud orang Mesir itu, soalnya berbahaya menembus blokade Angkatan Laut Belanda, dan orang Indonesia tak ada yang punya kapal. Setelah lama berunding mencari jalan yang mungkin dapat ditempuh, mereka kemudian berpisah dengan janji akan bertemu lagi.
"Tidaklah mudah untuk memberangkatkan Tuan Monem ke Yogya. Walaupun ia berhasil mendarat di pantai pulau Jawa, timbul persoalan lagi, bagaimana caranya untuk sampai di ibukota Republik melalui daerah yang asing baginya, di mana tidak kendaraan untuk disewa, dan untuk bepergian perlu ada surat jalan dari Tentara Republik Indonesia. Para pejuang gerilya menjaga sepanjang pantai, dan mereka mabuk darah. Seorang asing tak dikenal kemungkinan bisa hilang tak tentu dengan tuduhan sebagai mata-mata musuh". Demikian cerita K'tut Tantri yang kenal betul keadaan Indonesia dalam masa revolusi itu.
Akan tetapi K'tut Tantri menyadari dengan sepenuh hatinya betapa pentingnya Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya itu menerima pengakuan negara Arab dan Mesir, dan dia berusaha mencari-cari kapal orang Cina dan pemilik-pemilik kapal lain, tapi usahanya sia-sia karena tak seorang pemilik kapal pun yang mau ambil resiko berbahaya itu.
Sampai juga K'tut Tantri menanyakan kemungkinan untuk menyelundupkan Abdul Monem bersama bekas-bekas Romusha yang akan dipulangkan dari Singapura ke Indonesia, tapi usahanya ini juga gagal. Akhirnya berkat usaha "Kolonel X" didapatlah sebuah pesawat terbang yang akan membawa Romusha itu, direncanakan Tuan Monem itu menyamar sebagai kuli. Usaha itu gagal.
K'tut Tantri berusaha lagi, kali ini berhubungan dengan seorang pemimpin perusahaan Inggris di Singapura.
Orang Inggris itu menyatakan kesanggupannya membantu K'tut Tantri, tapi dengan bayaran yang cukup mengejutkan K'tut Tantri dan Tuan Monem. "Sepuluh ribu dollar untuk pesawat, di luar biaya untuk anak kapal", katanya.
Baik K'tut Tantri maupun orang Mesir itu tak punya uang sebanyak itu, tapi Monem yakin pemerintahnya bisa membayar asal dihubungi. Akan tetapi berhunbungan ke Kairo baik melalui kawat atau surat bukan hal yang aman, mengingat tugas yang diembannya. Akhirnya K'tut Tantri yang cerdik itu meminta pada perusahaan Inggris itu agar pembayaran dapat ditangguhkan beberapa hari setelah pesawat sampai ke Yogya. Jaminannya ialah Kementrian Pertahanan Indonesia.
Surat-surat perjanjian pun ditandatangani, di situ tertera hutang $ 10,000 yang akan dibayar oleh Kementrian Pertahanan Indonesia nanti.
Pesawat yang akan mereka pakai adalah sebuah pesawat yang datang dari Manila mampir ke Singapura dan terus ke Jawa. Setelah menyelusup masuk ke lapangan udara Singapura, tanpa mematikan mesinnya, kedua orang itu pun melompat naik ke dalam pesawat. Monem mneyamar sebagai kuli dan K'tut sebagai tuannya, tak seorang pun petugas lapangan mengetahuinya. Pesawat pun meluncur ke udara.
Dalam perjalanan, mereka dikejar oleh beberapa pesawat tempur. Tapi sang pilot yang punya pengalaman perang dunia berhasil memperdayakan pemburu-pemburu mereka dengan cara menukikkan pesawat hampir-hampir menyentuh permukaan laut, mereka berhasil menyelamatkan diri.
Mereka sampai di Yogya dan besoknya Tuan Monem diterima oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pejabat-pejabat tinggi negara dalam suatu upacara penyerahan surat-surat kepercayaan dari Raja Farouk atas nama semua negara-negara anggota Liga Arab. K'tut Tantri mengisahkan kejadian itu sebagai berikut: "Di ruang resepsi istana diadakan upacara khidmat yang mengesankan. Presiden Soekarno dan Abdul Monem berdiri tegak berhadap-hadapan. Presiden kelihatan tenang, akan tetapi Monem sebaliknya. Suaranya menggetar dan tangannya gemetar ketika membacakan surat pengakuan, bahwa Mesir dan Liga Arab dengan resmi mengakui Negara Republik Indonesia dan menyambutnya dalam keluarga bangsa-bangsa".
Begitulah kisahnya kedatangan utusan Liga Arab dan utusan Raja Mesir untuk menyampaikan pengakuannya pada Republik Indonesia, pengakuan internasional yang diterima Indonesia. Satu hal yang agaknya patut kita kenangkan, dalam membina hubungan dengan Timur Tengah, tak seorang pun kita yang tahu di mana Abdul Monem yang dikisahkan K'tut Tantri itu sekarang, dan kita pun tak pernah melihat gambar Abdul Monem duduk dengan deretan tamu-tamu terhormat dalam upacara kemerdekaan di halaman Istana Merdeka, atau mendengar sebuah bintang disematkan di dadanya seperti orang-orang lainnya yang dianggap pernah berjasa kepada Republik ini.
Panji Masyarakat
No.172
1 April 1975
Hal. 9-10