Tamar Djaya, penulis buku Rohana Kudus, Riwayat Hidup dan Perjuangannya pernah dituduh seorang guru di Sumatra sebagai penulis "Vandalis". Menurut sang guru, Kartini hanya seorang. Dan kalau ada orang mengatakan ada lagi seorang wanita dari Sumatera, adalah semata-mata ingin menonjolkan orang kampungnya.
Ketika penulis buku tersebut menyuruh sang guru melihat bukti perjuangan Rohana di Koto Gadang dan hasil karyanya di Museum Jakarta, sang guru yang menuduh Tamar Djaya sebagai Vandalis terpaksa diam seribu bahasa. "Sebenarnya tidaklah mengherankan kalau dalam tingkat permulaan itu, orang-orang ragu menerima kebenaran ini, karena memang belum pernah terdengar, dan ahli sejarah kita pun tak pernah pula menyebut-nyebutnya", tulis Tamar Djaya.
Sampai kini, dua gelar penghargaan yang diterima Rohana Kudus meliputi penghargaan sebagai wartawati pertama dari Gubernur Sumatera Barat 15 Agustus 1974 dan gelar penghargaan Perintis Pers Indonesia dari Menteri Penerangan RI 9 Februari 1987.
Bila kini ada anak usia 7 tahun membacakan berita surat kabar dengan suara lantang di sebuah warung, agaknya orang minum atau makan akan menilai anak itu kurang akal, kalau tidak akan mengusir, disebabkan mengganggu ketenangan. Tapi pada tahun 1892, semasa belum banyak orang pandai tulis-baca, kehadiran Rohana Kecil didambakan masyarakat yang sedang nongkrong di warung.
Suatu kebiasaan Rohana sewaktu kecil, usia 8 tahun, membacakan surat kabar langganan ayahnya Moh.Rasyad Marajo Sutan di depan orang ramai di warung. Berita yang dibacakan itu sangat besar artinya. Sebab belum banyak orang yang tahu tulis-baca. Itu, hanya salah satu keistimewaan Rohana Kudus dari kecil, sudah terlihat cerdas dan pintar.
Dilahirkan 20 Desember 1884 di Koto Gadang, sebuah desa kecil di Ngarai Sianok, Bukittinggi, Sumatera Barat. Tahun kelahiran Rohana bersamaan dengan Dewi Sartika. Meski Kartini lebih tua, namun dalam memulai kegiatan, Rohana Kudus lebih dahulu 8 tahun. Ayahnya seorang jurutulis. Dan Rohana merupakan saudara sepupu berlainan ibu dengan St. Syahrir, Perdana Menteri Pertama RI. Rohana ikut bersama ayahnya selama 11 tahun. Dalam usia 6 tahun ia telah mulai belajar menulis dan membaca dari orang tua angkatnya, seorang jaksa. Adiesa isteri teman ayahnya Jaksa di Alahan Panjang Solok, mengajari Rohana menulis dan membaca serta berhitung.
Mulai Mengajar
Orang tua Rohana kemudian pindah tugas ke Talu, Pasaman. Di sini Rohana mulai membangun sekolah, dan mengumpulkan anak-anak untuk diberikan pelajaran berhitung, menulis dan membaca. Pekerjaan itu dilakukan 8 tahun sebelum Kartini berkiriman surat dengan temannya. Nenek Rohana bernama Sini Tarimin, orang termasyhur dalam bidang jahit menjahit, bahkan pernah mendapat medali kehormatan dari pemerintah. Pada nenek itu, Rohana belajar jahit-menjahit, merenda, menterawang dan menyulam.
Dan jangan lupa pelajaran agama yang dituntut sejak usia 6 tahun, juga diberikan kepada muridnya di Talu, Pasaman, tempat ayahnya bertugas.
Tahun 1897, ibunya meninggal dunia. Dan ia balik ke kampung Koto Gadang berpisah dengan ayahnya. Pekerjaan yang telah dimulainya di Talu Pasaman, ia lanjutkan di Koto Gadang. Semua anak-anak, terutama yang wanita berkumpul di rumahnya belajar berhitung, membaca, menulis dan menjahit, serta menyulam. Pada waktu itu berarti usianya baru mencapai 13 tahun, sebuah usia yang terlalu muda, sampai kini pun jiwa kepeloporan dan pergerakan kaum wanita bangsanya demikian menggebu. Setiap hari Kamis, kepada anak asuhannya diajarkan pelajaran agama. Dan setiap habis memberikan pelajaran, Rohana selalu membacakan surat kabar pada muridnya.
Nama Rohana sebagai pendidik kian hari kian harum. Pada tahun 1908, baru ia menikah dalam usia 24 dengan seorang pemuda bernama Abdul Kudus, anak seorang Laras, yang juga mempunyai jiwa pergerakan. Suaminya kebetulan keponakan dari ayahnya. Perkawinan seperti ini suatu kebiasaan di Minangkabau. Rohana dinilai terlambat melangsungkan pernikahan, karena pada masa itu, gadis desa menikah dalam usia belasan. Rohana memang sibuk dengan kegiatannya.
Menanggung Fitnah
Pekerjaan sebagai guru di Koto Gadang terpaksa putus selama 3 tahun, karena ia pindah tinggal di Maninjau bersama suaminya. Baru pada tahun 1911, Rohana kembali melanjutkan pekerjaannya di kampung. Ketika inilah hasratnya menggebu untuk membangun sebuah gedung sekolah yang permanen. Ini yang mengawali Yayasan Amai Setia. Rupanya tidak semua orang senang dengan kegiatan yang dilakukan Rohana Kudus. Bagi sebagian kecil orang, Rohana mengumpulkan anak gadis ketika itu dinilai sebagai mengundang aib. Berbagai isu dihembuskan orang yang tak senang padanya. Ia difitnah telah merusak budi pekerti. Meski tak pernah meminta bayaran di sekolah tersebut, tetapi hembusan fitnah orang itu tak dapat ditahankannya. Bersama suaminya, tiga tahun ia meninggalkan kampung. Tapi setiap malam ingatannya selalu pada murid yang ditinggalkan. Ia membayangkan muridnya seperti anak ayam kehilangan induk.
Banyak surat datang ke Bukittinggi meminta Rohana kembali ke kampung untuk melanjutkan kegiatan sekolahnya. Dalam hatinya masih tergores pedihnya fitnah yang dilemparkan tempo hari. Tetapi Rohana memang dasar pejuang, tak tahan ia mendengar ratapan orang kampungnya setelah ditinggalkan. Ia memutuskan kembali ke kampung dan aktif kembali mengajar di sekolahnya. Namun kepulangannya kini dibekali semangat untuk lebih memperbaiki sistem belajar dan mekanisme yang lebih baik.
Rohana School
Bila di pulau Jawa didirikan sekolah Kartini setelah Kartini meninggal, tetapi di Bukittinggi ada Rohana School yang didirikan Rohana Kudus, ketika pindah dari Koto Gadang. Itu dilakukan pada tahun1916. Ia memang tak lepas dari fitnahan. Ketika memimpin Amai Setia, ia difitnah telah menggelapkan uang perkumpulan. Setelah diadili di Bukittinggi, ternyata ia tak terbukti bersalah. Seluruh keuangan perkumpulan dapat dipertanggungjawabkan, dan administrasinya bersih dan rapi. Fitnahan tersebut hanya karena keirian orang-orang yang tak senang padanya.
Ketika di Bukittinggi, ia membuat surat kepada Dt. St. Maraja yang menjadi Pemimpin Redaksi surat kabar Utusan Melayu di Padang. Ia bercerita tentang keinginan dan keluhan jiwanya untuk memajukan wanita melalui tulisan. Pemimpin Redaksi Utusan Melayu menyambut dengan semangat. Bahkan Dt. St. Maraja datang menemui Rohana ke Bukittinggi. Mereka sepakat menerbitkan surat kabar wanita. Rohana ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi, tetapi ia tetap berada di Bukittinggi, karena muridnya tak mungkin ditinggalkan. Sebagai redaksi pelaksana, ditunjuk Ratna Djuita, adik Dt. St. Maraja Itulah surat kabar perempuan pertama di Indonesia,"Sunting Melayu" yang diterbitkan tahun 1912. Terbit 3 kali seminggu. Coba baca diantara karangannya :
"Apabila diperhatikan bagaimana gerakan bangsa waktu ini, dan diperbandingkan dengan gerakan Hindia dan difikirkan bagaimana gerakan Sumatera waktu ini, maka tahulah kita bahwa masih jauh jalan yang kita tempuh ke padang yang bernama kemajuan."
"Biarpun banyaknya perserikatan terutama buat laki-laki akan tetapi marilah kita bangsa perempuan berani minta terima kasih kepada ahli-ahli supaya kita dihelanya dari lembah kegelapan ke jalan yang terang. Banyak tempat telah bertambah juga murid-murid perempuan dan belajar dengan rajinnya. Kita harapkan mudah-mudahan sekalian bangsaku Melayu yang ingin akan kemajuan dan keselamatan negeri dan bangsa serta tanah airnya akan memperhatikan hal ini." (Sunting Melayu 23 Mei 1923 tahun ke-2).
Pada 27 Juni 1922 no. 4 tahun I di Sunting Melayu, Rohana menulis, di antaranya :
"Ayolah mari ke taman sunting
hamburkan benih yang penting-penting
anyam menganyam, gunting menggunting
halus dan kasar dahan dan ranting
Perempuan harus menggerakkan diri
patutlah pula mengeluarkan peri
penahan nan kesat nak hilang diri
penghentian gunjing sehari-hari.
Dari dua kutipan karangan Rohana di atas, terlihat betapa besar cita-citanya untuk memajukan wanita di Indonesia. Masih banyak lagi karanganmya yang enerjik dan bernilai patriotisme. "Sunting Melayu" mampu bertahan sampai tahun 1921. Suatu rentang waktu yang tidak pendek untuk usia sebuah surat kabar wanita.
Tahun 1920. Rohana pindah ke Medan. Tahun 1924 ia pulang dan kembali menjadi wartawati surat kabar Radio yang terbit di Padang. Ia mengeluh, menangis, dan bersedih hati menyaksikan nasib kaumnya yang masih diperbudak secara tidak resmi. Banyak wanita menjadi nyai dan istri piaraan penggede Belanda. Sehabis manis, sepah dibuang. Dan lebih-lebih jadi pekerja di perkebunan yang selalu jadi barang rongsokan. Wanita menjadi pemuas hawa nafsu kaum lelaki. Demikian juga di Jawa, mereka bekerja di pabrik dan selalu menjadi permainan lelaki. Mereka tidak bersekolah dan tidak punya ilmu pengetahuan, sehingga apa yang terjadi pada dirinya dianggap sebagai takdir Tuhan YME.
"Kapankah bangsaku akan maju?
Pabilakah kaumku akan bangun?" tulis Rohana.
Rohana Kudus meninggal pada 17 Agustus 1972 dalam usia 88 tahun di rumah anaknya, Jasma Juni, Jln. Sukabumi I Jakarta. Lalu Tamar Djaya pernah menulis : "Orang hanya menyebut Kartini dan sama sekali tidak menggubris Rohana. Rohana tak ada dalam catatan sejarah kita. Alangkah zalimnya dunia ini."
Mafri Amir
"Tentang Rohana Kudus Itu"
Panji Masyarakat
No. 575
11-20 Mei 1988
24 Ramadhan-4 Syawal 1408 H
Halaman 41-43