Sabtu, 15 Februari 2014

Tak Ada Kesepian

,
Banyak orang yang menyebut tentang penderitaan batin karena tekanan kesepian. Dia merasa terlunta-lunta terkepung sendirian, di kiri kanan tidak ada teman, kita sebagai tercecer sendirian, mahluk yang lain jauh dari kita, laksana seorang tersesat dan tersesak dalam hutan belantara, bersorak sekeras-kerasnya yang menjawab tidak ada, kecuali si pongang yang kian banyak yang mnejawab kian jelas kesepiannya.

Kesepian sangatlah berbahaya. Dia bisa menyebabkan orang jadi gila atau bertutur seorang diri dengan tidak ada yang menemani, kesudahannya putus asa dari hidup itu sendiri, sehingga banyak orang yang bunuh diri karena padang telah tersesak ke rimba. Perempuan-perempuan tersesat langkahnya, dia bersuami, tetapi karena merasa sepi di rumah, lalu berteman dengan laki-laki lain untuk mengembalikan kegembiraan hati, padahal mengobat kesepian dengan pelanggaran bukanlah mengobat kesepian itu, melainkan laksana orang haus meminum air laut, tambah diminum tambah haus, atau laksana pemuda tersesat memakai narkotika, hanya pada mulanya saja merasa diri "fly", terbang dalam dunia khayal, namun kenyataannya diri jadi lekung dan kurus, kehilangan daya dan remuk tidak diharap bangkit lagi.


Untuk menghabiskan kesepian hidup, tidak ada obat yang lebih mujarab daripada muarrab daripada IMAN. Orang kehilangan teman hidup sejati karena orang kehilangan Iman. Dengan Iman hidup jadi lapang, jika mempunyai pandangan yang luas, maka tidaklah ada medan yang lebih luas dan lapangan daripada hatinya orang yang beriman. Ada kata kiasan Tuhan dalam Al-Qur'an menyatakan bahwasanya Tuhan telah menawarkan amanat kepada semua langit dan kepada bumi, lalu kepada gunung-gunung. Sedangkan langit yang tujuh petala lagi mengatakan tidak sangup memikul amanat itu, betapa lagi bumi yang hanya satu bintang diantara berjuta dan berjuta-juta bintang. jangankan bumi itu sendiri tidak sanggup, apalagi bukit-bukit yang menumpang menumbuh di antara lapangan bumi. tetapi datanglah Insan, lalu dia menyatakan kepada Tuhan bahwa dia sanggup memikul amanat itu. Karena kesanggupan yang dinyatakan insan itulah maka Tuhan pun kemudian menyatakan niat-Nya hendak mengangkat manusia itu jadi khalifah-Nya di muka bumi.

Maka jika direnung dan ditekunkan lebih luaslah hati orang yang beriman daripada halaman tujuh petala langit dan bumi itu sendiri, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, yang nyata dan yang ghaib, hidup di dunia dan hidup di akhirat, hidup yang fana dan hidup yang baqa, Ujud yang azali dan yang abadi. Ujud Allah Maha Pencipta, Maha Pelindung Sarwa Sekalian Alam.

Tidak ada kesepian dalam kehidupan mukmin.

Yang merasa hidup itu sepi, dan sempit, dan muram dan suram hanyalah ada pada orang yang masih ragu tentang adanya Allah dan Hari Akhirat. Hidup orang yang seperti ini lebih sempit dari penjara, bahkan lebih sempit dari kamar tahanan, sepi terpencil yang disediakan buat orang yang kesalahannnya dipandang lebih berbahaya sehingga dia disisihkan dari nan banyak. Dia hidup terpencil dari azal dan abad, dari kemarin dan daripada esok, yang dikenalnya hanya hari ini saja. Dia terpencil daripada ujud yang luas, yang kelihatan olehnya hanya dirinya, dan jika ditekannkan lagi, yang kelihatan olehnya hanyalah sekedar perutnya. Dia tidak mengetahui apa yang disebut pribadi, atau budi. Setinggi-tinggi pengetahuannya hanya nasi!

Demikianlah kehidupan manusia sejak semula, yakni sejak Adam dan Hawa disuruh hidup ke atas dunia ini. Dan sejak itu pula Tuhan memberitahukan kepada mereka berdua akan berangkat : "Berangkatlah kamu semua dari sini. Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk yang akan Aku berikan, tidaklah dia akan merasa takut hidup dan tidaklah dia akan merasakan dukacita! Akan tetapi barangsiapa yang menolak akan peringatanku, hidupnya akan sengsara".(Tha-ha, 123-124).

Tuan tidak boleh menunjuk orang-orang yang hidupnya mewah yang jauh dari anjuran kesederhanaan, yang merasa bahwa "bumi seluruhnya bagai dilangkahi, langit ketujuhnya bagai dipersunting". Itu hanya perasan, sama dengan perasaan pemuda yang digilai narkotika tadi, dia merasa terbang membubung melayang setelah menghisap narkotika, padahal orang lain melihat dengan mata kepala sendiri bahwa badannya telah hancur tinggal jengat pemalut tulang! Di atas harta yang banyak dia merasakan sempitnya diri, sepinya alam, di mana-mana kehilangan kawan. Benarlah dan tepatlah apa yang pernah disebut dalam satu syi'ir Arab :

"Sayangilah mudamu! Bukanah negeri dengan penduduknya yang sempit, tetapi budi pekerti orang banyaklah yang telah kehabisan tempat!".

Bagi binatang, daerah untuk hidup itu memang sempit, hanya sekedar untuk perutnya dan minumnya. Bila makan rumputnya sudah "suah", dan mulutnya sudah dapat mengunyah terus, urusan sdah beres dan dia sudah boleh tidur!

Anak kecil sebelum tumbuh akalnyapun begitu pula. Sejak mulai dia lahir lalu beberapa bulan di belakang, dunianya hanya sekedar melekapkan bibir kepada ujung susu ibunya. Asal sudah diberi susu diapun sudah tidur. Kalau bertambah besarnya sedikit lagi, senyumnya sudah mengenal ayahnya dan abangnya. Dan bertambah dia dewasa, bertambah pula meluas dan mendalam kasih itu. Dia sudah mulai mengetahui dan mencintai permainan. Dari tangkapan pancaindra, naik kepada Pancapersada. Dari Pancapersada baru dia mengenal Pancasila!

Maka Iman kepada Allah dan percaya kepada yang ghaib itulah yang mengangkat pengertian manusia daripada kebinatangan kepada kemanusiaan, daripada perangai kanak-kanak kepada medan kecerdasan, dari tangkapan pancaindra kepada tangkapan akal dan nalar, daripada yang terlihat kepada yang tidak terlihat, dari pada 'alam syahadah kepada 'Alam yang Ghaib.

Orang yang beriman tidak mengenal kesepian! Dadanya lapang, selapang laut tempat dia berlayar. Dadanya luas, seluas alam tempat bintang-bintang memancarkan sinar yang indah.

Maka tersebutlah perkataan bahwa seorang ahli pengetahuan yang tekenal di negeri barat, Yulian Huxly, namanya, mengarang sebuah buku, menguraikan hasil penyelidikannya, penyelidikan yang tidak berdasar kepada Iman sama sekali, atheis sama sekali. Dia simpulkan isi bukunya dan dijadikannya simpulan itu menjadi nama dari buku hasil penyelidikan itu, yaitu "Man Stands Alone", yang berarti "Manusia hidup sendiri dalam Alam ini". Tetapi seorang sarjana lain bernama A. Cressy Morisson, bekas Ketua dari Akademi Ilmu Pengetahuan di New York, Ketua Ma'had Amerika dan Anggota Majelis Legislatif dari Hasil Penyelidikan Nasional di Amerika, pembantu tetap di Museum Sejarah di Amerika dan Aggoa Seumur hidup dari Ma'had Kerajaan di Britania raya; Beliaupun setelah pertimbangan yang matang mengeluarkan pula sebuah buku hasil penyelidikan tentang Ilmu Alam yang setengah isinya ialah "Tentang Udara dan Lautan", "Neutrogen", "Apa Arti Hidup", "Bila Dimulai Hidup", "Asal Usul Manusia", "Naluri Insan", "Pertumbuhan Akal", dll, dan buku ini beliau beri nama "Man Does Not Stand Alone" (Manusia Tidaklah Hidup Sendiri). Yang jadi kesimpulan dari seluruh isi buku, yaitu bahwa perjalanan alam yang demkian teraturnya, tidak dapat tidak, adalah bukti yang nyata bahwasanya manusia hidup bukanlah sendiri-sendiri dan bukanlah suatu kebetulan, tetapi berkaitan diantara yang satu dengan yang lain dengan suatu kekuasaan Muthlaq, yaitu Allah.

Seorang ahli ilmu falak Mesir yang terkenal, bernama Al-Ustaz Mahmud Saleh Al-Falakiy menterjemah seluruh isi buku Cresson itu ke dalam bahasa Arab dan memberikan nama baru bagi terjemahan itu, dengan menceritakan sejarah terbitnya buku itu. Beliau beri nama "Al-'Ilmu yad'uu Lil-Imaan" (Ilmu Membawa Kepada Iman).

Kesan kita ialah bahwa Huxly dengan ilmunya yang banyak tentang alam, tetapi tidak percaya akan Allah, dia memandang alam dalam kesepiannya. Dia tidak memandang hubungan kasih diantara yang satu dengan yang lain. Cresson percaya kepada Tuhan, maka dengan dasar kepercayaan itu dia tidak merasa sepi. Dia melihat bahwa yang satu bertali dengan yang lain, yang ini berkait dengan yang itu. Seorang yang beriman merasakan suatu kelapangan dalam jiwanya dan hatinya, meskipun belum tentu lampang dalam perikehidupannnya. Sebab thabi'at atau perangai Iman ialah meluaskan jiwa, hati dan hidup. Sebab diri orang yang beriman bertali dengan segala sesuatu, lahirnya dan batinnya, tingginya dan rendahnya, yang nampak dan yang tidak nampak, yang dipandang oleh mata atau yang direnung oleh hati, yang dahulu dan yang sekarang dan yang nanti.

Hidupnya sebagai seorang Insan menjadi penghubung diantara bumi dan langit. Berjalin dan berkelndan dengan malaikat, dengan ang memikul 'arasy, dan kekuatan-kekuatan rohaniyah dan tentara Allah yang tidak tidak tahu berapa bilangannya. kecuai Allah sendiri. Nur Ilahi memancarkan sinar dan meliputi dirinya, sampai terasa ada hubungannya sejak nenek moyang manusia pertama, yang bernama Adam, sampai rasul terakhir yang bernama Muhammad SAW. Sampai kepada segala orang-orang shiddiq, shalihin, syuhada' dan orang-orang shalihin yang ada pada tiap-tiap umat, yang bisa timbul pada tiap-tiap zaman. Berhubungan dengan dunia dan akhirat, dengan maut dan kebangkitan dan Yang Awal dan yang Akhir dan Yang Lahir dan yang Bathin.

Jiwa yang beriman itu sangat lapang dan ramai, seramai alam dan selapang langit dan bumi, 'arasy dan kurdiluh dan qalam.

Jiwa yang beriman lapang dan ramai, karena dia hidup diliputi oleh Nur, oleh cahaya Ilahi, membuka segala tabir tertutup yang ada di kelilingnya, dan cahaya itu lebih luas daripada apa yang dapat diliuti oleh kebesaran Iman manusia. Lawannya ialah kegelapan; mana yang diliputi oleh gelap tidaklah dapat memandang yang ada di kelilingnya, jangankan memandang yang sektarnya, walaupun barang yang dapat dipegang oleh tangannya, bakan dirinya sendiripun tidak diketahui di mana letaknya. Suatu waktu datanglah ayat Tuhan kepada Nabi kita Muhammad SAW :

"Bilamana seseorang telah dibukakan Tuhan dadanya menerima Islam, maka dia telah menerima cahaya dari Tuhannya" (Az-Zumar, 22).

Lalu ada orang yang bertanya apakah cahaya itu?

Rasulullah SAW menjawab :

"Sesungguhnya apabila cahaya itu telah masuk ke dalam hati, dia dapat bertambah meluas dan melebar".

Maka hati ini dapatkah bertambah meluas, bertambah melebar tersebab cahaya Iman dan cahaya yakin, sebagaimana cahaya itupun bisa menciut, mengecil dan habis karena syak, ragu-ragu, munafiq dan tidak percaya (atheis); Tepat sebagai sabda Tuhan :

"Barangsiapa yang Allah berkehendak memberinya petunjuk terbukalah dadanya menerima Islam, dan barangsiapa yang Allah hendak menyesatkannya, Dia jadikanlah dadanya menjadi sempit dan picik" (Al-An'aam, 125).

Oleh sebab itu apabila kita hubungkan kesepian ataupun keramaian jiwa ini, kegelapan atau sinar yang memancar dari dalam tubuh batin kita, dihubungkan semuanya itu dengan puasa yang telah selesai kita kerjakan, jelaslah bahwa dengan melemahkan sedikt jasmani kita hanya sebulan dalam setahun, adalah karena kita hendak menguatkan rohani. Dan jika kita melakukan ibadat, bukanlah hendak melakuka bagi kepentingan diri sendiri, melainkan bagi orang banyak, bagi masyarakat ramai. Sedangkan ke dalam sorga yang indah itupun kita tidak akan dibiarkan pergi sendirian dengan kesepian, melainkan dengan zumaran, beramai-ramai, berbondong. Kitapun hendaknya menyingkirkan kegelapan dari dalam diri, lalu memenuhinya dengan Nur, dengan cahaya.

Sebab itu maka dianjurkan oleh Nabi SAW kita berdo'a sehabis sembahyang yang lima waktu, diantaranya ialah : 

"Ya Tuhanku, jadikanlah dalam hatiku ini da cahaya, dalam penglihatanku ada cahaya, dari sebelah kananku menembuslah cahaya, dari sebelah kiriku menembuslah cahaya, dari hadapank menimpalah cahaya, dari belakangku menimpalah cahaya, dari sebelah atasku bergelimanglah cahaya, dari sebelah bawahku masuklah cahaya; Dan besarkanlah cahaya yang memancar daripadaku di hari kiamat..." (Dirawikan leh Ibnu Mardawaihi dan Ibnu 'Abbas).

Sebab itu orang Islam tidak akan mengenal sepi, dia ramai terus. Sebagai Al-hafizh Ibnu Qayyim pernah mengatakan :

"Di dalam hati memang ada perasaan kusut; Namun dia akan selesai sendiri apabia dia telah dihadapkan kepada Allah".

Di dalam hati memang ada kesepian, tetapi dia akan ramai sendiri apabila kita ingat janji Allah; Ud'uuni astajib lakum (Panggillah Aku, niscaya Aku perkenankan panggilanmu).

Di dalam hati memang ada kesedihan, namun dia akan berganti dengan bahagia bila kita mulai mengenal Allah dan dengan jujur bergaul dengan Dia".(Dari kitab Madarijus Salikin).

Moga-moga dapatlah jadi pegangan hidup kita, baik bagi yang menuliskan "Dari Hati Ke hati", ini, ataupun bagi yang membaca dan merenungkannya.

Diketik ulang oleh Pat
dari majalah lama warisan almarhum ayahanda tercinta H. Asj'ariansyah Noer, BA
Sumber :
Majalah Panji Masyarakat
No.231 Tahun ke XIX
15 September 1977/1 Syawal 1397 H
Pemimpin Umum
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrulllah (HAMKA)
Kolom Dari Hati Ke Hati
Judul : Tak Ada Kesepian
Halaman 5-7

0 komentar to “Tak Ada Kesepian”

Posting Komentar

Hey © 2008 Template by:
SkinCorner